Menelusuri Jejak Sejarah Kesultanan Cirebon di Keraton Kasepuhan
bacalah.id – Keraton Kasepuhan adalah destinasi utama yang “wajib” dikunjungi jika bertandang ke Cirebon, Jawa Barat. Keraton seluas 5 hektar ini menyimpan sejarah kesultanan di kota yang dijuluki Kota Udang ini. Keraton Kasepuhan yang awalnya bernama Keraton Pakungwati, didirikan pada masa Pangeran Walangsungsang pada tahun 1470. Dikutip dari historyofcirecon.id, Pakungwati adalah puteri kesayangan Pangeran Walangsungsang. Pada tahun 1678 nama Keraton Pakungwati diubah menjadi Keraton Kasepuhan saat dipimpin Pangeran Mertawijaya.
Kesultanan di Cirebon tidak lepas dari keberadaan Sunan Gunung Jati, satu dari 9 wali yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa. Sunan Gunung Jati adalah putra Syarif Abdullah atau Sultan Hud, penguasa Banisrail (Mesir-Palestina) dan ibunya bernama Dewi Rara Santang yang merupakan puteri Prabu Siliwangi, Raja Kerajaan Sunda.
Sabtu (1/6/20240 lalu saya berkesempatan datang ke Keraton Kasepuhan. Dengan membeli tiket seharga Rp 25.000, saya bisa berkeliling ke seluruh area keraton yang di dalamnya terdapat museum dan rumah tinggal Pangeran Heru Arianataredja yang merupakan keturunan Sultan Sepuh III Sultan Raja Djaenudin dari Trah Sunan Gunung Jati.
Siang menjelang sore, saya diantar Pak Rudi, pemandu di Keraton Kasepuhan yang mengenakan pakaian beskap warna hitam lengkap dengan kain batik. Pria ramah ini memberikan penjelasan seputar sejarah Keraton Kasepuhan dengana fasih. Menyimak paparan Rudi tentang kesultanan di sebelah barat Pulau Jawa ini tersirat sejarah yang cukup kompleks dengan segala dinamikanya. “Saat dipimpin Sunan Gunung Jati, Keraton Kasepuhan mengalami masa kejayaan dan memperluas area dari letaknya di sebelah timur menuju arah barat pada 1529 masehi. Artinya bangunan di Kesultanan Kasepuhan telah berusia 500 tahun atau 5 abad,” ujar Rudi.
Dalam perjalanan sejarah, Kesultanan Cirebon kemudian terpecah menjadi dua, yakni Keraton Kasepuhan (diperintah pangerah sepuh atau tua) dan Keraton Kanoman (dipimpin pangeran anom atau muda). Selain Keraton Kasepuhan dan Kanoman, ada juga Keraton Kacirebonan dan Peguron (tempat menimba ilmu) Keprabon, keempatnya terletak di Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon yang keseluruhannya seluas 16 hektar. Menurut Rudi, Keraton Kasepuhan masih terawat dengan baik dan menjadi tempat pembelajaran sejarah kejayaan Kesultanan Cirebon di masa lalu.
Pada bagian depan Keraton Kasepuhan terdapat sebuah alun alun yang bernama Sangkala Buana yang dahulu digunakan sebagai tempat para prajurit untuk berlatih serta sebagai pusat penguasa kerajaan.
“Kita akan memasuki komplek keraton, nah ini adalah bangunan bernama Siti Inggil atau Lemah Dhuwur yang berarti tanah tinggi yang dibangun oleh Sunan Gunung Jati,” kata Rudi seraya menambahkan, di bagian depan bangunan terdapat meja batu yang menghadap ke alun-alun. Keraton Kasepuhan memiliki dua gerbang yakni Kreteg Pangrawit dan Lawang Sanga. Kemudian pengunjung akan melewati Pancaniti atau pendopo yang digunakan para prajurit untuk berlatih dan Pancaratna, tempat untuk menghadap para petinggi desa.
Bagian yang menarik di area keraton adalah museum yang menyimpan berjuta jejak sejarah di Kesultanan Cirebon. Mulai dari Kereta Singabarong, koleksi keris, baju perang, gamelan dan lukisan tiga dimensi Prabu Siliwangi. “Keris koleksi museum terawat dengan baik, ada tradisi membersihkan keris setiap awal bulan pertama 1 tahun baru Jawa atau tanggal 1 Suro. Koleksi keris ini juga sebagian ada yang hasil hibah warga,” ungkap Rudi.
Berkunjung ke Keraton Kasepuhan memberikan perspektif baru sejarah Kesultanan Cirebon yang bisa dilihat melalui benda-benda peninggalan yang ada. Pak Rudi sempat menawarkan untuk bisa bertemu dan berfoto dengan Pangeran Kasepuhan yang sore itu diinformasikan ada di kediaman di area keraton. “Barangkali ibu mau berfoto, atau minta doa pangeran agar usahanya berjalan dengan lancar. Mumpung di sini Bu,” bujuk Pak Rudi sembari menambahkan, doa dari pangeran diganti imbalan menyerahkan sedekah untuk anak yatim.
Karena hari telah sore, saya segera pamit ke Pak Rudi yang ramah untuk mengunjungi destinasi lain. Agaknya untuk pengelola Keraton Kasepuhan perlu kreativitas untuk memunculkan daya tarik di area keraton. Meskipun ada sudut yang menjual souvenir, alternatif membuka peluang kerjasama dengan pengrajin batik atau kerajinan lain bisa dijajaki agar pengunjung bisa membeli oleh-oleh dengan beragam pilihan. Ada pemandangan yang menganggu sebelum memasuki area yang berasal dari sungai kecil di depan keraton yang berwarna hitam dan baunya cukup menyengat. Jejak sejarah di sebuah kawasan selain bisa menjadi daya tarik wisatawan juga bisa mendatangkan pemasukan bagi daerah setempat jika dikelola dengan baik. ***