bacalah.id – Susi Maulita baru kelas V SD di pedalaman sebuah Desa Mon Mata Calang saat bencana tsunami meluluh lantakan kawasan Aceh pada 26 Desember 2004. Bocah manis yang tak fasih berbahasa Indonesia itu harus kehilangan ibunya. Ia mengalami trauma, sekaligus perasaan minder. Tak heran bila bersembunyi di kolong tempat tidur menjadi pilihannya setiap kali tetamu dari Jakarta datang ke Sekolah Sukma Bangsa (SSB).
Dengan telaten para guru di SSB terus melatihnya berbahasa Indonesia dengan baik. Memberikan pujian, memotivasi, dan menyuntikkan mimpi-mimpi agar dia berani punya cita-cita. Hal serupa biasa dilakukan para guru di SSB terhadap semua muridnya. Mereka terampil untuk lebih banyak mendengar dan berpantang menganggap para muridnya bodoh. Mendikte mereka, apalagi sampai membuli.
Hasilnya? Susi Maulita menjadi pertama asal Calang yang melanjutkan kuliah ke Universitas Paramadina di Jakarta dengan beasiswa. Dia juga menjadi yang pertama melihat Menara Eiffel saat menimba ilmu jejang master di sebuah universitas di Prancis.
Seperti Susi, Youlin Afrineta meraih gelar master dari Eropa (Finlandia) berkat beasiswa dari Sukma Bangsa. Perempuan kelahiran Simeuleu, 23 Juli 1991 itu semula nyaris terhenti sekolahnya di tingkat SMP. Ayahnya yang cuma nelayan angkat tangan untuk melanjutkan sekolah Youlin.
Sekolah Sukma Bangsa menampungnya. Membantunya mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malikussaleh Jurusan Sastra Inggris. Begitu lulus Youlin melamar menjadi guru di SSB tingkat sekolah dasar di Lhokseumawe. “Alhamdulillah, meski baru setahun mengajar, saya dinyatakan lulus mengikuti beasiswa ke Finlandia,” tutur sulung dari lima bersaudara putri pasangan Firdanis dan Narnetih itu.
Singkat kata, bersekokah di SSB telah mendidik Susi dan Youlin menjadi pribadi mandiri dan percaya diri. Dan, berkat Sukma Bangsa, keduanya melihat dunia maha luas yang dulu hanya mereka baca dari buku-buku cerita. Sekolah Sukma Bangsa diinisiasi oleh Chairman Metro TV Surya Paloh beberapa bulan pasca tragedi tsunami. Ide yang semula ditentang banyak orang dan dicurigai semata untuk mencari panggung dan pencitraan pribadinya semata.
Kepada Lestari Moerdijat (Rerie), salah seorang petinggi di Media Grup, dia pertama kali melontarkan obsesinya itu. Surya Paloh ingin membangun sekolah yang menjadikan para muridnya tak cuma bisa baca-tulis, paham Qur’an dan cas-cis-cus berbahasa Inggris.
“Rer, anak-anak di sekolah ini nantinya harus tahu, tidak ada Indonesia kalau tidak ada Aceh,” kata Surya Paloh dengan ekspresi dan intonasi suaranya yang khas. “Bikinlah sekolah yang seperti itu,” dia melanjutkan seperti ditulis Fenty Effendy dalam buku “Sukma Bangsa, Tak Sekadar Kisah di Ruang Ajar”.
Untuk mewujudkan obsesi Surya, digandenglah pakar pendidikan seperti Prof Komarudin Hidayat dan Dr Ahmad Baedowi yang mendesain cetak biru kurikulum. Keduanya mendesain SSB sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan dan menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan moral. Juga menjadikan kemanusiaan, keislaman, dan keindonesiaan sebagai tiga pilar utama.
Tentu tak berlangsung mulus. Sejak awal, cetak biru itu menghadapi ujian di lapangan. Mulai proses rekrutmen calon murid dan guru para relawan yang melakukan verifikasi di lapangan harus menghadapi berbagai ujian yang menguji etik dan moral mereka. Bahkan ada sebuah momen, seorang nyawa Sahlan Hanafiah sebagai verifikator nyaris menjadi taruhannya.
Sejumlah warga di sebuah dusun menyanderanya hingga tengah malam. Nyawa lelaki kelahiran Pidie yang telah lulus pascasarjana dari UGM itu di ujung tanduk kala sejumlah warga mendesaknya agar anak-anak mereka diluluskan sebagai calon murid. Sahnan kukuh dengan sikapnya, dan akhirnya dibebaskan.
Puncak ujian dan teror terhadap cetak biru kurikulum yang menjunjung tinggi etika dan moral terjadi pada 2012. Kala itu ada 11 murid SMA SSB di Pidie yang kedapatan menyembunyikan kertas contekan. Mereka pun langsung dikeluarkan.
Keputusan pengurus sekolah membuat para orang tua mereka meradang. Dinas pendidikan setempat, para politikus dan sejumlah tokoh asal Aceh di Jakarta ikut mendesak agar sekolah membatalkan keputusan tersebut. Mereka nyaris berhasil melobi Surya Paloh sebagai pendiri Yayasan Sukma.
Ahmad Baedowi sebagai Direktur Pendidikan Yayasan yang diutus menemui Surya Paloh mengancam. Bila keputusan sekolah dalam menegakkan nilai-nilai etik, moral, dan kejujuran tak lagi mendapat sokongan, kata dia, SSB sebaiknya dibubarkan saja.
Di tahun-tahun pertama, berbagai kecurigaan hingga intimidasi dan teror dialamatkan ke SSB. Sekolah ini pernah dituding mengajarkan liberalisme hanya karena ada sosok Komaruddin Hidayat. Pengajaran bahasa Inggris ditentang karena dianggap milik orang kafir.
Toh begitu, Fenty tak terkesan tengah mengglorifikasikan Surya Paloh sebagai pencetus ide dan donatur utama SSB. Juga tidak menyanjung Rara Lestari Moerdijat sebagai sosok yang mewujudkan ide Surya Paloh. Tidak juga terhadap Ahmad Baedowi, desainer cetak biru sekolah.
Berpengalaman lebih dari 20 tahun sebagai jurnalis, antara lain di Forum Keadilan, Metro TV, dan TV One, membuat Fenty mampu meramu reportase lapangan yang detail menjadi kisah dengan pendekatan yang penuh empatik. Secara umum Fenty berupaya memberi porsi yang seimbang terhadap semua pihak yang terlibat dalam pembangunan dan pengembangan SSB. Dia menguak tentang latar para guru dengan segala suka dan duka mereka mengajar dan membentuk karakter para siswa.
Juga memotret ragam karakter para siswa, bagaimana mereka tertatih-tatih membangun percaya diri hingga menorehkan prestasi. Begitu pun dengan intrik politik, gesekan antara idealisme dan sikap pragmatis yang turut mewarnai drama perjalanan SSB diceritakan dengan gamblang.
Singkatnya, membaca buku setebal 305 halaman ini tak akan membuat kita berkerut-kerut. Sebaliknya pembaca akan dibuat terhanyut untuk terus mengikuti kisah-kisah di dalamnya yang diceritakan dengan mengalir dan renyah.