Ridwan Saidi, Musik Jazz, dan Intel Yahudi
bacalah.id – Semasa hidupnya, Ridwan Saidi punya banyak predikat. Putra Betawi kelahiran Gang Arab atau Sawah Besar Gang VI, Jakarta pada 2 Juli 1942 itu antara lain dikenal sebagai politisi, budayawan, bahkan belakangan juga disebut-sebut sebagai sejarawan.
Komunitas Bambu menyebut Ridwan Saidi berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya, Abdurrahim, pegawai negeri yang hidup pas-pasan. Masa prasekolah dilalui Ridwan Saidi di madrasah yang para ustadnya diberi wewenang menghukum anak didik yang nakal.
Ridwan Saidi juga dikenal sebagai penggemar seni, terutama sastra dan musik. ”Saya senang jazz. Pertunjukan Tjok Sinsoe (alias George Rudolf Willems Sinsoe, paman dari Ireng Maulana) sampai Jack Lesmana (ayahnya Indra Lesmana) selalu saya tonton,” ujarnya.
Menilik perjalanan hidupnya bisa disimpulkan bahwa Ridwan Saidi dianugerahi kecerdasan di atas rata-rata. Juga nyali dan bakat menulis dan berorganisasi lebih dari memadai. Dia pernah menjadi ketua KNPI (1973-1978) dan Ketua Umum PB HMI (1974-1976), menggantikan Akbar Tanjung.
Selepas memimpin HMI, Ridwan Saidi menjadi anggota parlemen lewat Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) selama 10 tahun, 1977-1987.
Di PPP Ridwan pernah disebut-sebut sebagai politisi kesayangan Jaelani Naro, ketua umum PPP. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ‘putra mahkota’ untuk menggantikan Naro memimpin PPP.
Bersama Naro, dia ikut melambungkan unsur MI (Muslimin Indonesia) sekaligus menggembosi unsur NU sebagai pendukung terbesar di PPP, dan mendorong mundurnya NU dari pentas politik. Ridwan Saidi juga membuat logo baru PPP berupa bintang sudut lima yang berasal dari simbol Pancasila, untuk menggantikan simbol Ka’bah. Logo bintang buatannya mulai digunakan pada Pemilu 1987.
“Proses pembuatannya hanya satu hari. Tetapi proses pengendapannya yang lama,” klaim Ridwan Saidi seperti ditulis Pusat Data dan Analisa Tempo.
Hijrah ke Golkar
Hal menarik, pada pengujung 1987 Ridwan Saidi justru hijrah ke Golkar. Setahun sebelumnya dia berselisih dengan J. Naro. Pangkalnya antara lain ketika dia mengusulkan agar AD/ART diubah menjadi partai terbuka. Artinya, non muslim pun boleh menjadi anggota PPP. Agustus 1987, DPP PPP memutuskan mendepak Ridwan karena dianggap indisipliner.
Ketika banyak pihak tercengang dengan keputusan tersebut, Ridwan Saidi membuat manuver yang lebih mencengangkan lagi. Dia hijrah ke Golkar yang lima tahun sebelumnya, 1982, pernah dia kritik dengan pedas. Kala itu, dalam sebuah kampanye di Sumatera Barat, Ridwan Saidi menjelek-jelekkan Golkar dan menyerang pemerintah.
Sekretaris Jenderal Golkar Sarwono Kusumaatmadja termasuk yang terkejut dengan langkah ‘kutu loncat’ Ridwan. Apalagi Ridwan bisa langsung mendapatkan kartu anggota padahal idealnya butuh setidaknya setahun. “Itu suatu toleransi yang luar biasa. Orang kan masih ingat pada 1982 dia ngapain,” kata Sarwono seperti ditulis Majalah Tempo edisi 28 Mei 1988.
Mungkin karena punya ‘dosa’ masa lalu itulah, kiprah Ridwan Saidi di Golkar tak semoncer semasa di PPP. Pada 1995 akhirnya Ridwan mendeklarasikan Partai Masyumi Baru dan memimpin partai tersebut hingga 2003. Kali ini, perjuangan Ridwan Saidi pun tak seperti dicita-citakannya. Partai yang dipimpinnya tak meraih suara signifikan untuk mengantarnya ke Senayan.
Toh begitu, Ridwan punya kemampuan yang lain: Menulis. Kreativitias dan produktivitasnya menulis telah dia memanfaatkan sejak kiprahnya di DPR lebih banyak disumbat partainya. Suami dari Yahma Wisnani itu lantas menyuarakan pemikirannya melalui surat kabar.
Tampil di ILC
Di luar artikel-artikel di media massa, Ridwan Saidi menerbitkan beberapa buku, antara lain: Golkar Pascapemilu 1992 pada 1993; Anak Betawi Diburu Intel Yahudi (1996); Profil Orang Betawi: Asal muasal, kebudayaan, dan adat istiadatnya (1997); Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah (2007).
Sejak Pilkada DKI 2017, Ridwan Saidi seolah terlahir kembali. Bak selebriti, dia mendapat panggung khusus di layar kaca lewat acara Indonesia Lawyer Club (ILC) yang dipandu Karni Ilyas. Hampir setiap pekan, Ridwan yang kemudian popular dengan sapaan ‘Babe’ tampil di ILC bersama para nara sumber lain seperti Rocky Gerung dan Sujiwo Tedjo.
Sebagai sejarawan, pernyataan-pernyataan Ridwan Saidi kerap menuai kontroversi. Ada yang menilainya dia sekedar mencari sensasi alih-alih menyodorkan bukti-bukti arkeologis sebagai pendukung argumentasinya. Pada awal September 2019, misalnya, Ridwan menyatakan Kerajaan Sriwijaya fiktif dan tak lebih sebagai bajak laut. Dia juga menuding bahwa Raden Fatah itu Yahudi sehingga tidak berhak mendapat gelar raden.
Pada 2013, Ridwan Saidi juga pernah menyebut bahwa pusat Sriwijaya bukan di Palembang melainkan di Jambi. Pernyataan itu menyusul temuan sumur di Candi Kedaton, situs Muara Jambi oleh Guru Besar Arkeologi UI, Prof Dr Agus Aris Munandar pada 13 Juli 2013.Pada pertengahan Februari 2020, alumnus FISIP UI itu kembali menuai kontroversi setelah menyatakan tidak ada kerajaan di Ciamis dan arti “Galuh” berarti brutal. Setelah diprotes budayawan dan para tokoh Ciamis, Ridwan Saidi akhirnya meminta maaf.
Pada Jumat pagi, 23 Desember, Ridwan Saidi dilarikan ke RS Pondok Indah karena mengalami pendarahan di batang otak. Pada Minggu pagi, 25 Desember dia mengembuskan nafas terakhir dan dimakamkan di TPU Karet Bivak. Selamat beristirahat menuju keabadian ye Babeh Ridwan….