bacalah.id – “Dulu, kami memilih Pak Jokowi karena diri Pak Jokowi sendiri. Bukan karena dia dicalonkan oleh PDIP,” begitu tulis seorang pendukung Jokowi di halaman facebooknya.
“Pak Joko Widodo terpilih menjadi Presiden pada tahun 2014 dan 2019 berkat pilihan rakyat langsung. Jadi, bukan karena andil partai politik tertentu. Ketua Umum PDIP, jangan GR!,” tulis yang lain.
Pendapat semacam itu berseleweran di media sosial setelah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati dinilai menyepelekan Presiden Jokowi. “…. Pak Jokowi kalau enggak ada PDI Perjuangan juga, aduh, kasihan dah,” begitu kalimat persis Megawati dalam acara peringatan HUT ke-50 PDI-P di Jakarta International Expo, Selasa (10/1/2023) lalu.
Pernyataan yang kemudian disambut tawa ribuan kader PDI-P. Ya, mereka tertawa karena menilai apa yang disampaikan Megawati guyonan semata. Dan itu bukan satu-satunya guyonan yang dilontarkan dalam kesempatan tersebut. Guyonan khas seorang ibu, seorang kakak, seorang ketua umum partai yang tak tergantikan sejak 1993. Wajar bila pada titik tertentu terkesan kepedean. Tapi faktanya memang rekam jejak Megawati luar biasa.
Ada pengamat yang menilai sesungguhnya guyonan yang dilontarkan itu memang dimaksudkan sebagai teguran terhadap Jokowi. Dia dianggap telah lancang dengan secara eksplisit dan implisit mengendorse Prabowo dan Ganjar sebagai sosok yang layak untuk melanjutkan kepemimpinannya. Padahal secara formal pencapresan adalah wilayah atau kewenangan parpol.
Lantas terkait reaksi sebagian pendukung, relawan, dan elit parpol lain pendukung Jokowi pun ada yang menilainya bukan sekedar baper. Mereka tengah menyuarakan sikap Jokowi bahwa sebagai politisi senior yang menyandang tiga gelar profesor dan 15 doktor kehormatan itu, Megawati menihilkan konsep simbiosis mutualisme. Konsep tentang hubungan yang saling membutuhkan, saling menguntungkan.
Memang benar Jokowi tak akan seperti sekarang ini andai Megawati tak merestui dan mendaftarkannya sebagai calon presiden pada pilpres 2014 dan 2019. Tapi harus dipahami pula bahwa Megawati dan PDI Perjuangan tak berperan mutlak. Tanpa sokongan partai lain, seperti Nasdem dan PKB, Komisi Pemilihan Umum tak mungkin mensahkan Jokowi sebagai capres karena suara PDI tidak cukup.
Bahkan bila kita kilas balik, dukungan Megawati untuk mencalonkan Jokowi pada 2014 baru diberikan di saat-saat terakhir. Padahal parpol-parpol lain sudah gregetan ingin mencalonkannya, tak kecuali Partai Demokrat yang menjadi seteru abadi Megawati. Kenapa akhirnya Megawati mencalonkan Jokowi?
Salah satunya kemungkinan karena dia insyaf, popularitasnya sudah meredup, kalah moncer oleh Jokowi yang kala itu baru dua tahun menjabat gubernur DKI. Hasil survei terakhir Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Januari 2014, memprediksi PDI Perjuangan akan kalah dalam Pemilu Presiden 2014 jika ngotot mengusung Megawati.
Sejak ajang perebutan kursi kepresidenan pada 2004, sebagai petahana, kharisma dan jabatan Megawati kalah moncer dari mantan pembantunya, Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2009 pun sami mawon meskipun dia sudah menggandeng Prabowo Subianto. Para pendukung dan relawan Jokowi seolah juga ingin mengingatkan Megawati bahwa PDIP kembali menjadi partai penguasa ya berkat popularitas Jokowi.
Pada 1999, PDI memang menjadi jawara di Pemilu tapi fakta menunjukkan Megawati gagal berkuasa karena dihadang Poros Tengah. Puan Maharani, putri pewaris tahta PDIP, diakui atau tidak bisa menjadi Menko ya karena Jokowi yang menjadi presidennya. Padahal kalau menilik kapasitas dan kompetensinya ya sebetulnya masih banyak figur lain yang lebih senior.
Ekstremnya, Megawati juga harus berterima kasih kepada Jokowi karena sampai batas tertentu terlalu lugu. Politisi kerempeng itu terlalu memegang teguh etika. Sungkanan. Dia tidak ambisius untuk mengambilalih kepemimpinan PDIP, baik langsung maupun tidak langsung. Jangankan merebut, terindikasi bermanuver untuk itu pun tidak.
Padahal sebagai Presiden, andai Jokowi mau tentu dia bisa dengan mudah mengambil alih kendali partai berlambang Banteng itu. Bila itu terjadi, niscaya ‘olok- olok’ bahwa dirinya sekedar ‘petugas partai’ tak akan sampai muncul. Tapi tidak. Jokowi sepertinya tak terlintas meniru jejak ‘mentornya’, Jusuf Kalla. Pada 2004, selang dua bulan menjadi wakil presiden, Jusuf Kalla berhasil merebut kursi ketua umum Partai Golkar pada Desember 2004. Atau Suryadharma Ali saat menjadi Menteri Koperasi yang lantas menggulingkan Hamzah Haz dari posisi ketua umum PPP. Andai Jokowi mengikuti jejak seperti Jusuf Kalla dan Suryadharma, jangan-jangan publik yang kemudian berujar, “Kasihan deh…Megawati”.